Perasaan Membatasi Pemikiran

I recall this sentence from my memory this morning, I have ever said that:
"Yang membatasi manusia bukanlah langit, tapi pikiran[1]. Dan yang membatasi pikiran adalah perasaan[2]."
[1] Di mulai dengan sejarah awal terciptanya pesawat terbang. Jika Wright bersaudara membatasi pikiran mereka sama seperti orang lain yang menertawakannya, mungkin pesawat terbang tidak akan ada, atau mungkin lebih tepatnya pesawat akan ditemukan beberapa tahun atau beberapa puluh tahun kemudian. Intinya, siapapun pembuatnya, dia pasti tidak akan membatasi pikiran mereka untuk berkarya.

Segala sesuatu itu tidak mungkin sebelum ada orang yang melakukannya.
       Karya Wright bersaudara itu menginspirasi orang lain sampai akhirnya lahirlah pesawat dengan model-model baru. Pesawat komersial dan pesawat tempur pun bermunculan. Kemudian roket ditemukan. Setelah itu Yuri Gagarin menjadi orang pertama yang keluar dari Bumi. Disusul dengan orang-orang yang pergi ke Bulan. Sekarang ada kabar bahwa NASA ingin mengirimkan orang ke Mars untuk tinggal disana. Dahulu nenek moyang kita hanya dapat memandangi Mars sebagai planet unik berwarna merah dan merepresentasikannya sebagai hari "Selasa". Tapi sekarang, kita akan menuju kesana. Satelit Voyager 2, sekarang pun sudah menjelajah keluar tata surya.

"Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan." Q.S Ar Rahman: 33

       Kekuatan di sini mungkin maksudnya adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan identik dengan pemikiran. Berpikir itu dilakukan di otak. Otak adalah tempat penyimpanan data, termasuk data ilmu pengetahuan yang kita terima. Berpikir berarti mencari hubungan antara satu data dengan data yang lainnya dan menemukan solusi yang tepat. Dan dalam prosesnya ada yang membatasi untuk mencapai pemikiran yang tepat.

[2] Ini dia yang membatasi pemikiran, yaitu perasaan, terutama cinta, Cinta adalah perasaan yang kuat. Kita dapat menggunakannya sebagai pertahanan, bisa juga sebagai serangan. Ga percaya? Cinta itu membuat kita buta sehingga kita tidak melihat suatu hal secara keseluruhan. Cinta bisa menjadi alasan kita bertahan dari segala kondisi. Cinta adalah dorongan tidak logis yang sangat kuat.

Bagi orang yang sedang jatuh cinta, Tai pun rasa cokelat.
       Contohnya, gue punya temen cewek, dia diselingkuhin berkali-kali. Si cowoknya bawa cewek baru dan mutusin temen gue di depan mata kepalanya sendiri. Atau kalau lo nonton Mario Teguh tangga 23 Agustus 2015 yang lalu, ada cowok umur 22 tahun curhat kalau dia berselingkuh berkali-kali dan mutusin pacarnya berkali-kali. Tapi pada akhirnya si cewek di kedua contoh ini memaafkannya. Karena cinta itu membutakan ketika lo belum siap menerima kenyataannya. Well, contoh ini agak dramatis...
       Contoh yang lainnya, semakin bertambah umur gue semakin melihat keadaan sekitar gue. Dulu waktu kecil gue hanya peduli dengan apa yang gue dapat. Sekarang gue mengamati nyokap gue... Suatu ketika nyokap lagi makan makanan enak, baru beberapa suap trus gue keceplosan ngomong "wih enak tuh". Kemudian dia ngasih semuanya ke gue, dia bilang "yaudah nih buat Ryan aja, mama udah kenyang." Gue padahal udah bilang nyobain aja karena udah makan, tapi dia ngasih semuanya karena dia tahu kalau gue suka makanan itu. Saat sedang makan, dia melihat ke arah gue yang sedang makan, mungkin dia masih pengen sehingga gue kasih tapi tetap saja, bilangnya sudah kenyang. Well, dia bertahan dari rasa keinginannya karena cinta terhadap anaknya.
       Kalau dilogikain, sebenarnya nyokap lagi laper, jadi harus makan, tidak seharusnya makanan itu dikasih ke gue. Tapi perasaan tadi membuatnya fokus pada gue sehingga dia tidak melihat fakta bahwa gue sudah makan dan dia belum makan.

       Kemudian, cinta bisa menjadi senjata untuk menyerang. Itulah alasan kenapa superhero memakai topeng, untuk melindungi orang-orang yang dicintainya dan menunjukkan kepada musuh bahwa dia tidak punya kelemahan.
       Bayangkan dunia sedang kacau karena invasi alien. Lo adalah pemimpin pemberontak yang berjuang bersama anak perempuan lo. Suatu saat lo berhasil membuat senjata yang dapat mengalahkan alien tersebut. Senjata itu lo sembunyikan di suatu tempat rahasia. Suatu ketika anak perempuan lo tadi diculik dan mereka mengancam akan mengubah anak lo menjadi alien dengan resiko kematian. Lo bisa menyelamatkannya dan hidup damai bersama keluarga lo dan umat manusia lainnya di tempat pengasingan hanya jika lo memberitahu dimana senjata itu disimpan. Akankah lo berpikiran begitu terbuka untuk merelakan putri kecil lo? Lo ga akan benar-benar merasakannya jika hal itu tidak terjadi. Coba saja bayangkan hal itu terjadi sama lo, putri lo menangis minta tolong. Keputusan lo pasti dibumbui dengan sikap emosional, apapun pilihan lo.

Kita tidak membuat keputusan berdasarkan logika, kita selalu menggunakan emosinal.
       Banyak contohnya, lo bisa buktiin sendiri. Apakah hal ini salah? Well, tadi sore si anakgabut memberi contoh yang mengingatkan gue bahwa memang itulah sifat bawaan manusia. Kita tidak akan pernah terlepas dari emosi atau perasaan, Because we are Human, not a damn Vulcan. Perasaan yang diberikan Tuhan kepada kita membuat kita belajar banyak dan membuat kita akan menerima dengan sendirinya kalau kita adalah makhluk yang unik. Gue tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika pemikiran manusia tidak dibatasi oleh perasaan. Ah iya, setidaknya gue punya gambaran sih, lihat saja Spock atau bangsa Vulcan lainnya yang selalu mengedepankan logika. Mungkin gue tidak bisa membayangkan kalau manusia tidak memiliki perasaan itu karena gue adalah manusia berperasaan hahaha. Hal ini sama saja seperti membayangkan lo tidak punya pikiran. Lo bisa membayangkan kalau lo tidak punya tubuh atau otak, karena mereka adalah bentuk fisik. Tapi lo ga akan pernah bisa membayangkan kalau lo ga punya pikiran, lah orang membayangkan aja udah termasuk berpikir :D

       Ada contoh kongkrit dimana mengesampingkan perasaan membawa kemenangan. Ketika perang dunia kedua terjadi, kubu aliansi pasifik dan Soviet memiliki musuh yang sama yaitu German. Amerika tidal suka dengan Soviet akan tetapi mereka terpaksa bekerja sama untuk menjatuhkan German. Sehingga pada akhirnya German pun kalah.

Perasaan bisa membutakan kita untuk melihat keuntungan taktis.

       Pikiran kita memang dibatasi oleh perasaan, namun hal itulah yang menjadikan diri kita beradab. Dan jika langit bukanlah batasnya, alangkah baiknya kita lebih merasakan dan memperhatikan alam sekitar, sesungguhnya disana terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya, Dialah Allah yang Maha Mengetahui Segala Ilmu.

Mendekatlah ke cahaya yang menerangi semuanya. Biarkan alam yang menjadi guru Anda.

Comments

Popular Posts